ASWAJA - Sepanjang abad perjuangan (jihad) keislaman di dunia, sudah banyak di dapatkan berbagai macam penjelasan terkait masalah akidah ASWAJA. Baik dengan cara bayanah, konflik, ataukah dialog, karena memang seperti firqoh Asy’ariyah berdiri di atas konflik semua firqoh, terutama mu’tazilah dan syi’ah, dan baru-baru belum lama ini kemudian berkembang, dalam hal memerangi opini Wahabiyah terkait masalah takwil ayat dan lain sebagainya yang menyangkut persoalan Akidah.

Subhanalloh...
Sebelumnya penulis akan menegaskan bahwa “Subhanallah” itu mempunyai kandungan abstrak yang luas, jika terkait masalah akidah tentu sangat nampak sekali perbedaan antara Allah dan makhluq dari lafad tersebut. “Allah Maha Suci”, suci dari semua ruang waktu yang melekat dalam diri mahkluq, artinya baik sifat, bentuk, tabi’at dan semua peristiwa yang di alami semua makhluq tentu tidak akan ada samanya.

Dalam akhidah ASWAJA di sebutkan bahwa Allah swt adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Tungga tidak ada yang menyamai-Nya, semuanya bergantung pada-Nya, tidak ada lawan-Nya, sendiri tidak ada tandingan-Nya.

Dan Allah swt adalah Dzat yang diandalkan oleh semua makhluq-Nya, hingga tiada yang setara dengan-Nya, hingga tiada yang menyamai kedudukan-Nya. Allah swt bersifat qodim, tanpa ada yang mendahuluin-Nya. Alla swt itu bersifat azali, tanpa ada permulaan-Nya. Allah swt maha hidup, tanpa ada akhir-Nya. Alla swt maha abadi, tanpa ada yan membatasi keabadian-Nya. Dan Alla swt maha kekal, tanpa ada penghabisan-Nya.

Allah swt senantiasa menyandang sifat-sifat agung. Allah swt tidak berakhir dan tidak terputus dengan berakhir dan terputusnya masa dan waktu. Tetapi Dialah yang maha Awal dan Maha Akhir. Maha Zhahir dan Maha Batin.

At Tanzih (mensucikan Allah)
Sesungguhnya Dia bukanlah jisim yang berbentuk, dan bukan pula jauhar yang berukuran dan terbatas. Dia tidaklah seperti jisim, tidak dalam ukurannya maupun dalam hal dapat terbagi. Dia bukanlah jauhar bahkan semua jauhar tidak dapat mengukur-Nya. Dan dia bukanlah ‘Ardh, bahkan semua ‘Ardh tidak dapat mengukur-Nya. Dia tidak seperti yang ada, dan apa-apa yang ada tidak semisal dengan-Nya. Tiada satupun yang semisal dengan-Nya, dan tidak pula Dia semisal dengan sesuatu. Dia tidak dapat dibatasi oleh ukuran, tidak dapat dimuat oleh semua kawasan, tidak dapat diliputi oleh semua arah, dan tidak dapat dimuat oleh bumi dan langit.

Begitu juga tentang ‘Arsy-Nya, bersemayam dengan cara yang dikatakan-Nya, dan dengan arti yang dikehendaki-Nya. Begitu juga dengan tahta di atas ‘Arys, itu bahkan di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah tidaklah menyebabakn Dia semakin dekat dengan ‘Arsy, tidak juga langit. Sebagai mana juga tidak menambah kejauhan-Nya dengan bumi dan tanah yang dipijak oleh makhuq-Nya. Bahkan derajat Allah lebih tinggi dari pada ‘Arsy dan segala bentuk ciptan-Nya. 

Sungguhpun demikian, Allah swt Maha Dekat kepada setiap makhluq-Nya. Bahkan, bagi seorang hamba, Allah swt lebih dekat dari pada urat nadinya sendiri. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Di mana kedekatan-Nya tidak bisa disamakan dengan kedekatan antara kedekatan-kedekatan antara bagian-bagian pada tubuh. Sebagai mana Dzat-Nya tidak menyamai susunan dzat pada tubuh makhluq-Nya.

(Menjabarkan Ringkasan “Ihya’ Ulumud Din Darul Fikri”, diterbitkan oleh Mutiara Ilmu)


“Adoh tanpo wangenan, cedak tanpo senggolan”
Begitulah dalam Jawa menjelaskannya secara singkat. “Adoh Tanpo Wangenan”, ketinggian dan kekuasaan Allah, jauh dan tak terbatas, tiada yang dapat mengukur sebagaimana penjelasan tentang Jauhar dan ‘Ard  yang ditulis di atas. Begitu juga “Cedak Tanpo Senggolan”, kedekatan Allah bahkan lebih dekat dari pada batas rasa kita (nadi) sebagai tatanan zhohir, dan kedekatan-Nya tidak dapat tersentuh dan dirasa atau diukur oleh apapun. Ada banyak orang yang menurut dirinya sudah dekat, padahal sebenarnya dia jauh, justru terkadang yang merasa jauh prilaku dan sifatnya malah mendekati kebenaran.

Kaum yang abangan sudah lebih lama dalam memberikan kontribusi pemahaman tentang ketuhanan, bahkan lebih sakral. Di mana yang menyakininya juga harus menanggung berbagai macam konsekuensi perjanjian (taysri’), juga sering di sebut dengan dharma dalam bentuk pengabdian atau karma (kromo) dalam bentuk pemulyaan.

Filosofi mendalam dengan pemahaman yang didasari tingkat kebatinan seseorang untuk dapat betul-betul faham tentang hakikat tuhan sesungguhnya. Meskipun dalam prosesnya tak lazim dijumpai, begitu analisa itu muncul dilingkaran perilaku para pencari hakikat itu, tentu akan berbenturan. Sudah diluar batas kebiasaan manusia biasa, bukan manusia sesungguhnya. Tentu ini akan menjadi pembahasan yang meluas, ada untugnya karena di sini tidak membatasi sudut pandang kita untuk melihat kenyataan yang ada. Mari sedikit luas dan keluar dari ruang yang itu-itu saja, mulai beranjak keluar dan menyapa mereka yang selama ini kita acuh dan berantah kepada mereka.

Insya Allah, dalam kesempatan mendatang akan penulis bahas secara mendalam tentang Adoh tanpo wangenan, cedak tanpo senggolan, dengan perspektif yang lebih menarik.

Tirtowening, 25 Mar 2018
 
Top