Banyak orang iseng bertanya kenapa mayoritas yang mengaku bermazhab
Syafi'iyah kok akidahnya malah Asy'ariyah? Kenapa tak ikut akidahnya Imam
Syafi'i? Pertanyaan seperti ini bahkan sering dijadikan meme dan sangat dipuji
oleh banyak mereka yang menjadikan meme seolah ayat al-Qur'an yang kebenarannya
sudah dijamin.
Sebenarnya saya malas mengomentari pertanyaan seperti itu sebab untuk apa
pertanyaan salah dikomentari? Pertanyaan itu dibangun dari asumsi bahwa Akidah
Asy'ariyah berbeda dengan ajaran Imam Syafi'i sehingga pertanyaan itu sendiri
yang seharusnya dipertanyakan. Tapi berhubung sepertinya banyak yang
terpengaruh juga, berikut ini jawabannya:
1. Tak ada perbedaan prinsip antara akidah Imam Syafi'i dan Imam Asy'ari.
Yang mau mengatakan sebaliknya silakan buktikan dengan nukilan yang ilmiah dari
kitab-kitab Asy'ariyah sendiri dan kitab Imam Syafi'i! Justru para ulama Syafi'iyah
menukil dari Imam Syafi'i bahwa Allah bukanlah jisim, Allah tak boleh disifati
duduk, sifat Allah harus diarahkan ke makna yang layak baginya. Ini adalah
akidah yang sama persis dengan ajaran Imam Asy'ari. Perbedaannya hanya terletak
pada bab takwil di mana Imam Syafi'i dan kebanyakan ulama di masanya tergolong
ahli tafwidh sehingga biasanya tak mau melakukan takwil tertentu. Soal tema
tafwidh dan takwil ini, saya sudah sudah tulis di beranda saya dengan judul
"DUA PENDAPAT ASY'ARIYAH TENTANG SIFAT". Keduanya adalah dua sikap
yang valid dan punya dasar dari pernyataan para sahabat Nabi dan orang-orang
setelahnya.
2. Imam Syafi'i fokus karangannya ke bidang fikih dan tak punya kitab khusus
akidah secara komprehensif. Ini menyebabkan tak ada mazhab Akidah Imam Syafi'i.
Kalau ada yang menggugat kenapa tak ikut akidah Imam Syafi'i, maka kitab beliau
yang mana yang harus dijadikan pedoman? Ada kitab akidah berjudul
"al-Fiqhul Akbar" yang dinisbatkan pada Imam Syafi'i, isinya malah
100% Asy'ariyah. Tetapi sebab penganut Asy'ariyah dan Syafi'iyah cermat dan
jujur secara ilmiah, maka kitab ini dinyatakan bukan karangan imam Syafi'i dan
tak dipakai sebagai rujukan. Bandingkan dengan kitab "Risalah Ila Ahli
Tsaghr" yang dicetak berulang oleh para pendaku Salafi atas nama Imam
Asy'ari sebab isinya mereka anggap cocok dengan akidahnya. Padahal kitab
Risalah itu tak valid penisbatannya pada Imam Asy'ari dan banyak dari ulama
mereka yang tahu itu.
3. Imam Asy'ari fokus karangannya ke bidang akidah dan tak punya kitab fikih
yang komprehensif yang sampai pada kita. Ini menyebabkan tak ada mazhab fikih
Asy'ariyah. Berbeda kasusnya tentang teman akidah; Imam Asy'ari menulis dan
mengomentari semua sekte akidah kaum muslimin saat itu, mulai dari mujassimah
yang menetapkan sifat fisik hingga jahmiyah yang meniadakan seluruh sifat agar
tak bernuansa fisik, mulai qadariyah yang mengatakan manusia bebas secara
mutlak dalam bertindak hingga jabariyah yang mengatakan bahwa seluruh tindakan
manusia itu atas paksaan kehendak Tuhan, semuanya tak luput dari koreksi Imam
besar ini. Dari sinilah kemudian para muridnya memunculkan istilah mazhab
akidah Asy'ariyah. Pada hakikatnya, ini bukanlah mazhab baru sebab kenyataannya
justru mazhab ini muncul sebagai pembelaan terhadap akidah para ulama salaf
yang dikritik oleh sekte-sekte belakangan di atas.
4. Pertanyaan ini sama kasusnya dengan kita merujuk Imam Bukhari dan lainnya
dalam bab hadis, bukan ke musnad as-Syafi'i sebab musnad beliau terbatas
sekali. Dalam bab Rijalul Hadis kita merujuk pada penilaian Yahya bin Ma'in dan
lain-lain, bukan ke Imam Syafi'i sebab sedikit sekali penilaian beliau atas
rijalul hadis yang sampai pada kita. Dalam bab Tafsir kita merujuk pada
Al-Qurthuby dan lain-lain sebab tak satu pun kita dapati Imam Syafi'i menulis
tafsir.
Jadi, dengan memilih ulama rujukan yang berbeda dalam tiap bab yang berbeda
pula bukan berarti kita plin-plan tetapi justru menunjukkan adanya keahlian
memilih para ahli di bidangnya masing-masing. Ini juga menjadi bukti bahwa
bermazhab itu tidak kaku dan sama sekali tidak berarti membatasi diri dengan
satu tokoh saja dalam segala hal. Tak ada satu pun ulama mazhab yang
mengajarkan sikap kaku dan membatasi diri seperti ini sehingga para pengikut
mazhab fikih tetap leluasa merujuk tokoh manapun yang ia anggap argumennya
paling pas. Sebab itulah, biasanya pertanyaan seperti di judul tulisan ini
hanya muncul dari orang-orang yang tak bermazhab dan tak mau tau tentang mazhab
tetapi bersemangat komentar tentang mazhab.