"Tuhan bagi saya adalah kebenaran" -Soe Hok Gie. 

"Bagaimana bisa berbicara tentang tuhan tanpa agama?" -Bonoeffer. 

Berangkat dari dua kandidat pemikir di atas, tergerak hati untuk mulai menekan papan keybord, menyusuri jejak halusinasi, menggali makna harfiah dari gerak focus gerak jemari dan mata yang  secara anal dari angan yang ada dibenak, membentuk rangkaian kata.

Munculnya keinginan mengkritik atau ketidak puasan hati, terhadap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak bisa dipungkiri, hak bicara itu merupakan bagian dari kehidupan, meskipun berdiam diri tidak mewakili dari segala hal yang mati. Terkadang berdiam diri adalah salah cara untuk memahamkan, dan terkadang justru dari diamnya memberikan kontribusi makna yang dalam, "Bila harfin wala shoutin" tidak ada huruf dan suara (hening), namun justru memahamkan. 

Nah, pemahaman yang abstrak seperti ini tidaklah mudah untuk difahami, terkadang malah memberikan sisi penolakan. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, di mana pemikiran sebagian mereka terpengaruh oleh pemikir barat yang lebih menangkis terhadap pemahaman agama. Menjurus kepada peniadaan terhadap kebenaran mutlak suatu agama, bahkan menjurus kepada faham ateisme. Bisa dirasakan pada abad ini, paham ateisme ini menjadi suatu fenomena yang umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi dan lain-lain. 

Di dunia teologi, seperti Ludwig Feurbach (1804-1872) seorang teolog kristen yang pada akhirnya menjadi pelopor ateisme di abad modern. Ia menegaskan bahwa, secara prinsip yang paling tinggi adalah manusia. Meskipun agama atau teologi menyangkal, tapi tetaplah pada hakikatnya agama yang menyembah manusia (religion that worships man). Seperti kristen, tuhan adalah manusia, dan manusia adalah tuhan (God is man, man is God) (A. Husaini: 2013), maka agama ini akan menafikan agama lain yang tuhannya bukan manusia. Sehingga Ludwig juga mengemukakan bahwa makna hakiki dari teologi yang dia percayai adalah antropologi. Agama adalah mimpi akal manusia. Seperti Karl Marx (1883) juga terpengaruh dengan karya Feurbach, dia mengatakan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagai mana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Pendapat ini juga bisa dilihat dalam buku Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, halaman 71-76. 

Gen pemikiran pertama ini kemudian menyebar ke dalam sentral opini kita, beberapa kali kita dihadapkan terhadap upaya sekulerisasi, terbukti saat tokoh budayawan bangsa tampil ditengah public serta membantah terhadap kebenaran simbol keagamaan. Sebelumnya juga pernah terjadi pada tokoh politikus ternama, juga meragukan kebenaran yang pada saat itu dia menganutnya. Selain itu, di rana sosiologi pun sedang bergema, bahkan sudah merambah pada lini atau taraf mahasiswa. Apalah arti sosial, penulis tidak akan membahasnya dalam kesempatan kali ini, mudah-mudahan pada kesempatan lain. Pada kesempatan tertentu penulis dan juga mungkin kita semua pun mengalaminya, di mana seorang yang agamis dan berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya, sebagai seorang yang sedang dalam kejumudan dan keterbelakangan. Upaya klime semacam itu seperti yang dikatakan tokoh sosiologi, yaitu Auguste Comte, ia menolak keberadaan agama, dan diikuti oleh generasi berikutnya, dengan dilatar belakangi dari hasil pemikiran bahwa agama adalah hasil mimpi dari manusia saja. 

Bergeser dari beberapa penemuan-penemuan di lapangan, mengajak kepada kita semua untuk melihat peran agama terhadap kemajuan bangsa ini. Dulu agama menjadi sentral peradaban di mana, kajian keagamaan mendalam menjadikan manusia menuju peradaban sejati, serta membentuk karakter insan kamil. Kontribusi serta peran yang mayoritas adalah orang agamis dalam merebut kemerdekaan bangsa, tentu ini seharusnya menjadikan rasa malu kita lebih besar dari pada keberanian kita mengungkapkan kebaya dan konde sebagai identity sosial dan agama. Sebenarnya itu sosial dan agama yang mana?
Baca Juga: Eksploitasi Pendidikan Kolonial Belanda
Tentu, alternatif untuk membangun kekuatan itu kembali bisa dilakukan dengan beberapa hal, misalnya dengan mengikutsertakan serta inovasi pada lembaga-lembaga pendidikan. Dengan memberikan nilai-nilai kebenaran, kepastian untuk mengetahui dan kemungkinan untuk mencapainya. Anaka-anak didik harus sudah terbebas dari virus sofis yang merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Dan yang terpenting adalah, Ilmu-ilmu agama yang di ajarkan di lembaga pendidikan Islam harusdibersihkan dari nilai-nilai skeptisme dan relativisme. Karena dua hal ini, akan mengakibatkan kepada pudarnya keyakinan, yang pada akhirnya muncul anggapan bahwa kebenaran agama adalah relative. Dan tentunya juga, semua keilmuan tentang agama yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam juga harus memperhatikan wahyu sebagai sumber utama dari keilmuan lainnya. Wallahu a'lam.... 

 
Top