Islam adalah agama yang identik dengan bahasa Arab. Asumsi yang selama ini berkembang di tengah masyarakat adalah bahwa bahasa Arab adalah agama Islam. Pendapat ini tidak untuk dipermasalahkan.

Asumsi lain bahwa bahasa Arab diklaim sebagai bahasa Tuhan (bernuansa keilahian), karena Al Qur’an merupakan kalamullah, berupa bahasa Arab dan terbukukan. Al Qur’an juga kitab suci umat Islam yang mengandung nilai I’jaz yang abadi di semua aspeknya. (Al Qattan, 2005: 264). 

Syekh Muhammad bin Salim mengatakan:

معنى فقط وعبر عن الرسول بألفاظ من عنده أو جبريل
(Syekh Muhammad bin Salim, Is’adur Rafiq, 2008: 49).

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Al Qur’an diturunkan berupa maknanya saja, kemudian dilafazh oleh Malaikat Jibril atau oleh Nabi Muhammad saw, bukan lafazd-lafazd dalam bahasa Arab yang sering kita dengar.

Pernyataan dan asumsi-asumsi di atas menggambarkan bagaimana kuatnya hubungan antara agama dan bahasa dalam kehdiupan masyarakat beragama. Namun, yang menjadi masalah mendasar adalah ketika penggunaan bahasa dalam agama ini hanya digafal tanpa pengertian dan penghayatan maknanya.

Hingga tanpa disadari itu semua menjadi problem ditengah masyarakat muslim sendiri, verbalisme bahasa Arab. Dan dampaknya bisa kita saksikan hari ini, dimana banyak orang yang hafal do’a berbahasa Arab, tapi tidak memahami maknanya. Banyak yang hafal ayat-ayat Al Qur’an tetapi tidak memahami arti dan maksudnya. Dan yang sedang booming di media sosial kali ini adalah kata kafir, dilontarkan tidak tepat pada sasarannya.

Di Indonesia, termasuk negara yang tertinggal dan jumud, karena mereka tidak menguasai bahasa Arab. Menyebabkan mereka kurang mnegetahui dan menghayati agama, termasuk ritual sakral, ibadah, dan fungsi agama itu sendiri. Apalagi kehadirannya di majelis taklim dengan begitu rajin hanya untuk pantes-pantes, menjalankan ritual-ritual lain hanya sebatas realitas ordiner, karena pakewuh.

Oleh karena itu dalam memahami isi kandungan AL Qur’an menurut Doktor A’isyah Abdurrahman (Bintusy Syathi) paling tidak dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan dalam memahami mufradat (kosakata) Al Qur’an, dan uslub (gaya bahasa) nya. Jadi, harus dicari arti linguistik- aslinya yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. (Inchinia Angger Rowin, Verbalisme Bahasa Arab (Jurnal Pendidikan Islam: 2018), 29).

Untuk saat ini tidak mudah kita untuk menemukan orang yang mampu membaca AL Qur’an. Namun sayangnya, sebagian besar belajar bahasa Arab dan Al Qur’an hanya terbatas pada jenjang dan usia tertentu. Ditambah lagi, kesuksesannya hanya diukur oleh mampu membaca sampai 30 Juz yang dilakukan setiap hari, bukan pada proses pemahaman terhadap isi dan kandungannya. Budaya membaca Al Qur’an hanya ritual membaca dan menghafal, belum sampai masuk pada proses tadabbur, tafahhum, ta’aaqul, dan lainnya.

Apa dampak negatifnya?
Pertama, penarikan kesimpulan yang salah dari dalil-dalil agama. Banyak dai yang fasih mengutip ayat dan hadits, namun justru menimbulkan kecurigaan, tuding menuding, fitnah dan konflik antar umat beragama.

Kedua, sikap keras yang berlebihan. Banyak yang bebas menafsirkan ayat-ayat untuk kepentingan yang dianggapnya benar oleh dirinya dan anggota-anggotanya.

Ketiga, taqlid ketidaktahuan masyarakat terhadap bahasa Arab dan ajaran-ajaran agama, akhirnya membawa mereka menjadi muqallid. Menjadi pengikut yang tidak tahu menahu dan asal mengikuti pendapat orang banyak.

Maka, perlu adanya upaya perombakan dalam sebuah ideologi yang salah, untuk mengubah budaya verbalsime di tengah masyarakat.
 
Top